BAB. I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Menurut Cultip dan Center dalam sastropoetro (1987), opini adalah suatu ekspresi tentang sikap mengenai suatu masalah yang bersifat kontroversial. Opini timbul sebagai hasil pembicaraan tentang masalah yang kontroversial, yang menimbulkan pendapat yang berbeda-beda. Dimana opini tersebut berasal dari opini-opini individual yang diungkapkan oleh para anggota sebuah kelompok yang pandangannya bergantung pada pengaruh-pengaruh yang dilancarkan kelompok itu.
Opini-opini individual tersebut kemudian dikenal dengan istilah opini publik. Karena Opini Publik terbentuk dari intregasi “personal opinion” banyak orang, maka Opini Publik cenderung telah bermukim pada suatu masyarakat yang melembaga, yang telah lengkap dengan mekanisme kepemimpinan maupun pengawasan komunikasi. Dengan kata lain Opini dan Opini Publik dilihat oleh Bogardus secara lembaga sentries dan liberal.
Auguste Comte, yang mendapat julukan sebagai bapak Sosiologi juga menaruh perhatian yang besar terhadap Opini Publik, kendati lebih memberikan arti dalam bentuk peranannya. Ia berpendapat, bahwa hari depan Negara dengan peningkatan pengaruh akan merupakan ajang dari Opini Publik. Dengan kata lain, bahwa tingkah laku kehidupan kenegaraan akan sangat dipengaruhi oleh tingkah laku Opini Publik. Hal yang dihubungkan dengan Albig, yang mengemukakan , bahwa opini adalah “tingkah laku”.
Masih banyak ahli ilmu-ilmu sosial yang memberikan batasan pengertian terhadap Opini Publik. Beberapa ahli yang mengkhususkan studi dibidang tersebut antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
Leonard W. Doob yang sering dikutip oleh para ahli, mengemukakan :
“..Publik opinion refrs to people’s attitudes on an issue when they are members of the same sosial group”.
Doob disini memberi tekanan kepada sikap (“attitude”) sebagai sesuatu yang bernilai psikologis terhadap sesuatu isyu, manakala mereka (dalam arti “people”) menjadi anggota dari kelompok sosial yang sama. Lalu Doob mempertanyakan, kelompok mana yang terlibat, isyu yang mana yang terlibat dan mengapa masyarakat memberi respon terhadap isyu tersebut.
Secara histories istilah sikap (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Dimasa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang ( Wrigtsman & Deaux, 1981, dalam azwar 1995 ). Sikap dapat diekspresikan dengan berbagai cara, dengan kata-kata yang berbeda. Sejak akhir tahun 1920 dan awal tahun 1930 metode-metode – pengukuran tingkah laku telah berkembang dan digunakan sampai sekarang, dan beberapa metode baru telah diciptakan.
Sikap dapat didefinisikan dalam banyak versi. Menurut Azwar (1995) sikap dapat dikategorikan ke dalam tiga orientasi pemikiran, yaitu: yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang berorientasi pada skema triadic. (mengenai pembahasan sikap akan dibahas pada bagian selanjutnya).
Sebagai landasan utama dari pengukuran sikap adalah pendefinisian sikap terhadap suatu objek. dimana sikap terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek tersebut (Mar’at 1984). Menurut Azwar (1995) dalam penyusunan pengukuran sikap sebagai instrumen pengungkapan sikap individu maupun sikap kelompok ternyata bukanlah sesuatu hal yang mudah. Kendatipun sudah melalui prosedur dan langkah-langkah yang sesuai dengan kriteria, suatu pengukuran sikap ternyata masih tetap memiliki kelemahan, sehingga tujuan pengungkapan sikap yang diinginkan tidak seluruhnya dapat tercapai. Oleh karena itu dalam penyusunan pengukuran sikap beberapa hal yang perlu dikuasai sebelum sampai pada tabel spesifikasi adalah pengertian dan komponen sikap dan pengetahuan mengenai objek sikap yang hendak diukur.
BAB. II
PENGUKURAN SIKAP OPINI PUBLIK
PENGUKURAN SIKAP OPINI PUBLIK
DEFINISI DAN KOMPONEN SIKAP
Pada bagian sebelumnya sedikit telah disinggung mengenai definisi sikap, yakni menurut “Spencer “sikap diartikan sebagai status mental seseorang. Dan Sikap dapat diekspresikan dengan berbagai cara, dengan kata-kata yang berbeda dan tingkat intensitas yang berbeda. Sementara menurut Azwar (1995) sikap dapat dikategorikan ke dalam tiga orientasi pemikiran, yaitu: yang berorientasi pada respon, yang berorientasi pada kesiapan respon, dan yang berorientasi pada skema triadik.
Pertama, yang berorientasi pada respon. Orientasi ini diwakili oleh para ahli seperti Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood. Dalam pandangan mereka, sikap adalah suatu bentuk atau reaksi perasaan. Secara lebih operasional sikap terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap objek tersebut (Berkowitz dalam Azwar 1995).
Kedua, yang berorientasi pada kesiapan respon. Orientasi ini diwakili oleh para ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Allport. Konsepsi yang mereka ajukan ternyata lebih kompleks. Menurut pandangan orientasi ini, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan ini berarti kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan kepada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Sikap oleh LaPierre (dalam Azwar 1995) dikatakan sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial; atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
Ketiga, yang berorientasi pada skema triadik. Menurut pandangan orientasi ini, sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman (dalam Azwar 1995) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya.
Menurut Azwar, di kalangan ahli psikologi sosial dewasa ini terdapat dua pendekatan dalam mengklasifikasikan sikap. Yang pertama adalah yang memandang sikap sebagai kombinasi reaksi antara afektif, prilaku, dan kognitif terhadap suatu objek. Pendekatan pertama ini sama dengan pendekatan skema triadik, yang kemudian disebut juga dengan pendekatan tricomponent.
Yang kedua adalah yang meragukan adanya konsistensi antara ketiga komponen sikap di dalam membentuk sikap. Oleh karena itu pendekatan ini hanya memandang perlu membatasi konsep dengan komponen afektif saja.
Menurut Mar’at (1984) ketiga komponen dalam sikap masih dapat dijabarkan lagi sebagai berikut:
1.Komponen kognitif, berhubungan dengan: belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, dan konsep.
2.Komponen afektif, yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang
3.Komponen konatif, yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.Di lain pihak, Mann (dalam Azwar 1995) juga mencoba menjabarkan ketiga komponen sikap menjadi:
1.Komponen kognitif berisikan persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen ini dapat disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial.
2.Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Masalah emosional inilah yang biasanya berakar paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang
3.Komponen konatif berisikan kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
1.TIPE PERTANYAAN SIKAP (TYPE OF ATTITUDE QUESTION)
Pertanyaan sikap (attitude qouestion) adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap.
Pertanyaan sikap apabila ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan yang benar, setelah melalui prosedur penskalaan (scaling) dan seleksi item, akan menjadi isi suatu skala.
Suatu pertanyaan sikap dapat berisikan hal-hal yang positif mengenai objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap. Pertanyaan seperti ini disebut sebagai pertanyaan yang favorable.
Contoh pertanyaan favorable adalah “Merokok dalam bis merupakan hak azasi setiap orang”.
Kalimat ini jelas mendukung atau memihak pada perilaku merokok di dalam bis karena bila dilihat dari sudut perilaku merokoknya sebagai objek sikap, pertanyaan ini mengatakan hal yang positif.
Sebaliknya, pertanyaan sikap mungkin pula berisi hal-hal yang negatif mengenai objek sikap, yaitu yang bersifat tidak mendukung ataupun kontra terhadap objek sikap yang akan diungkap. Pertanyaan seperti ini disebut sebagai pertanyaan sikap yang bersifat unfavorable.
Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pertanyaan favorable dan pertanyaan unfavorable dalam jumlah yang kurang lebih seimbang. Dengan demikian pertanyaan yang disajikan tidak semua positif atau semua negatif yang dapat mendatangkan kesan seakan-akan isi skala yang bersangkutan seluruhnya memihak atau sebaliknya seluruhnya tidak mendukung objek sikap. Variasi pertanyaan favorable dan unfavorable akan membuat responden memikirkan lebih hati-hati isi pertanyaannya sebelum memberikan respons sehingga stereotipe responden dalam menjawab dapat dihindari (Azwar 1995).
Edwards (dalam Azwar 1995) telah meramu berbagai saran dan petunjuk dari para ahli menjadi semacam pedoman penulisan pertanyaan yang disebutnya sebagai kriteria informal penulisan pertanyaan sikap. Kriteria termaksud, antara lain adalah sebagai berikut : Jangan menulis pertanyaan yang membicarakan mengenai kejadian yang telah lewat kecuali kalau objek sikapnya berkaitan dengan masa lalu.
Contoh : (objek sikap politik bebas aktif)
“Pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia masa Presiden Sukarno merupakan tindakan yang tepat”.
Meminta responden menjawab mengenai masalah yang telah lama terjadi seringkali tidak ada relevansi dan kepentingannya dengan sikap masa kini. Apalagi bila disadari bahwa mengetahui sikap sekarang mengenai hal yang telah berlalu merupakan hal yang tidak banyak gunanya. Sikap bukan merupakan aspek psikologis yang stabil untuk waktu yang lama. Interaksi manusia dengan lingkungan dimana ia berada sekarang sangat potensial untuk mengubah sikapnya terhadap sesuatu. Karena itu, pengukuran sikap hampir selalu ditujukan untuk mengungkap sikap terhadap objek psikologis masa sekarang.
Selengkapnya kaidah penulisan pertanyaan dapat dilihat berikut ini,
1. Jangan menulis pertanyaan yang berupa fakta atau dapat ditafsirkan sebagai fakta.
Contoh: (objek sikap – program Keluarga Berencana)
“Keluarga berencana adalah program pemerintah”
Suatu pertanyaan seperti contoh di atas adalah pertanyaan yang berisi fakta atau kenyataan. Lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap program keluarga berencana, setiap orang yang tahu tentu akan memberikan jawaban favorable terhadap pertanyaan seperti itu. Dengan demikian apa yang terungkap bukanlah sikap terhadap sesuatu objek melainkan pengetahuannya mengenai objek tersebut. Pertanyaan yang berisi fakta tidak akan dapat memberikan informasi kepada kita mengenai bagaimana sikap responden yang sebenarnya.
2. Jangan menulis pertanyaan yang dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran.
Contoh : (objek sikap – program keluarga berencana)
“Hari libur keluarga berencana perlu diadakan”
Pertanyaan seperti di atas akan menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi responden. Akibatnya dapat menimbulkan respon yang tidak sejalan dengan isi pertanyaan seperti dimaksudkan oleh penyusun skala. Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan hari libur keluarga berencana? Apabila yang dimaksudkan adalah hari libur nasional untuk memperingati kelurga berencana, maka pertanyaan itu adalah favorable dan akan memancing jawaban “setuju” dari responden yang sikapnya positif terhadap keluarga berencana. Akan tetapi, apabila responden menafsirkan hari libur keluarga berencana sebagai hari libur dimana para peserta program keluarga berencana boleh melupakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi dan meliburkan cara-cara pengaturan kehamilan, maka pertanyaan itu menjadi yang unfavorable. Akibatnya, responden yang mempunyai sikap positif terhadap keluarga berencana tentu akan tidak setuju terhadap pertanyaan tersebut.
3. Jangan menulis pertanyaan yang tidak relevan dengan objek psikologisnya.
Contoh : (objek sikap – universitas terbuka)
“Daya tampung universitas yang ada di Indonesia perlu segera ditingkatkan”
Sekilas pertanyaan ini berkaitan dengan masalah tidak tertampungnya sebagian besar calon mahasiswa di perguruan tinggi yang ada, yang menjadi salah satu alasan dibukanya program universitas terbuka. Akan tetapi, karena berdiri sendiri pertanyaan itu tidak mempunyai kaitan apapun dengan universitas terbuka yang dijadikan objek sikap. Apakah responden menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap isi pertanyaan tersebut, tidaklah dapat dijadikan petunjuk mengenai sikapnya terhadap universitas terbuka. Responden yang menyatakan setuju bahwa daya tampung perguruan tinggi sangat rendah dan karenanya perlu ditingkatkan, belum tentu akan juga setuju terhadap keberadaan universitas terbuka.
4. Jangan menulis pertanyaan yang sangat besar kemungkinannya akan disetujui oleh hampir semua orang atau bahkan hampir tak seorangpun yang akan menyetujuinya.
Contoh :
“Setiap orang harus memperoleh makanan yang layak”
Pertanyaan ini akan hampir dapat dipastikan disetujui oleh semua orang. Apabila hampir ke semua orang setuju terhadap suatu pertanyaan, maka pertanyaan tersebut tidak ada artinya dalam mengungkap sikap.
Contoh :
“Segala bentuk pelanggaran lalu-lintas harus dikenai hukuman penjara”
Pertanyaan seperti ini, yang dimaksudkan sebagai pengungkap sikap terhadap peraturan lalu-lintas, sangat boleh jadi tidak akan ada yang menyetujuinya. Sekalipun bagi mereka yang mempunyai sikap positif terhadap hukuman pelanggaran lalulintas, tetap akan mempertimbangkan bentuk pelanggarannya lebih dahulu baru dapat menyetujui atau tidak menyetujui diterapkannya hukuman penjara. Pertanyaan demikian ini juga tidak membantu pengukuran sikap manusia.
5. Pilihlah pertanyaan-pertanyaan yang diperkirakan akan mencakup keseluruhan liputan skala afektif yang diinginkan.
Masing-masing pertanyaan mempunyai derajat afektif yang berbeda-beda. Ada pertanyaan yang punya derajat afektif yang dalam sehingga dapat mengungkap intensitas sikap yang dalam pula, ada pertanyaan yang punya derajat afektif yang dangkal sehingga hanya dapat mengungkap intensitas yang tidak terlalu dalam. Umumnya hal ini dapat dilihat dari derajat favorablenya suatu pertanyaan.Untuk skala sikap secara keseluruhan hendaknya terdiri atas berbagai derajat afektif yang bertingkat sehigga ada pertanyaannya yang dapat mengungkap intensitas sikap yang dalam dan ada pertanyaannya yang dibuat hanya untuk mengungkap intensitas sikap yang sederhana. Dengan demikian akan diperoleh liputan derajat efektif dalam rentang yang luas.
6. Usahakan agar setiap pertanyaan ditulis dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung. Jangan menuliskan pertanyaan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang rumit.
7sistem administrasi dan kebanggaan alumni, walaupun mungkin keduanya merupakan gagasan yang relevan guna mengungkap sikap terhadap sistem pendidikan di universitas A, akan tetapi dua gagasan yang dimasukkan ke dalam satu pertanyaan seperti itu mung. Setiap pertanyaan hendaknya ditulis ringkas dengan menghindari kata-kata yang tidak diperlukan dan yang tidak akan memperjelas isi pertanyaan.
8. Setiap pertanyaan harus berisi hanya satu ide (gagasan) yang lengkap.
Contoh :
“Universitas A adalah universitas yang sistem administrasinya paling baik dan alumninya paling membanggakan”
Pertanyaan ini merupakan satu contoh pertanyaan yang mengandung dua gagasan pikiran, yaitu kualitas kin punya derajat afeksi yang berbeda tingkatannya. Seseorang mungkin akan menyatakan sangat setuju mengenai segi kebaikan sistem administrasi universitas tersebut, namun akan menyatakan ragu-ragu mengenai segi kebanggaan alumninya. Perbaikan yang dapat dilakukan adalah memisahkan kedua ide tersebut masing-masing ke dalam pertanyaan yang berbeda.
9. Pertanyaan yang berisi unsur universal seperti “tidak pernah”, “semuanya”, “selalu”, “tak seorangpun”, dan semacamnya, seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan karenanya sedapat mungkin hendaklah dihindari.
10. Kata-kata seperti “hanya”, “sekedar”, “semata-mata”, dan semacamnya harus digunakan seperlunya saja dan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran isi pertanyaan.
11. Jangan menggunakan kata atau istilah yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh para responden.
Contoh :
“Pemberian hadiah tidak akan mengubah motivasi siswa dalam belajar”
Tampaknya tidak sukar untuk memahami kalimat dalam pertanyaan seperti ini. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah responden akan memahami kalimat tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh penulis? Coba perhatikan kata motivasi dan hadiah di atas. Sebagian dari kalangan tertentu barangkali dapat memahami maksudnya, akan tetapi bagi banyak orang, motivasi tidak memberikan gambaran apapun juga karena mungkin memang mereka tidak mengenalnya dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan kata hadiah sebagai pengganti reward juga tidak akan mudah dipahami oleh individu yang bukan berlatar belakang psikologi.
12. Hindarilah pertanyaan yang berisi kata negatif ganda.
Contoh :
“Tidak merencakan jumlah anak dalam keluarga bukan tindakan yang terpuji”
Kata “tidak”, dan “bukan”, dua-duanya adalah kata negatif, yang dalam banyak hal dapat membingungkan pembaca pertanyaan. kalau memang dimaksudkan untuk menulis pernya taan yang favorable bagi keluarga berencana kata tidak dan kata bukan dalam pertanyaan di atas dapat dihilangkan sama sekali tanpa merubah arti kalimatnya. Bila dirasa perlu dapat disisipkan kata “adalah” di antara kata keluarga dan kata tindakan.
Demikianlah beberapa kriteria informal dalam penulisan pertanyaan sikap yang perlu diperhatikan. Satu hal yang juga sangat penting diperhatikan dalam penulisan pertanyaan sikap adalah masalah social desirability. Kadang-kadang pertanyaan sikap yang kita tulis mengandung social desirability yang tinggi, yaitu berisi hal-hal yang akan disetujui oleh responden semata-mata karena isinya menggambarkan sesuatu yang dianggap sudah semestinya berlaku dalam masyarakat sosial atau sesuatu yang baik, benar, dan diterima menurut norma masyarakat. Sebagai contoh adalah pertanyaan berikut ini:
“Menjaga kebersihan lingkungan adalah kewajiban kita semua”
Lepas dari pada apakah responden orang yang cinta kebersihan (bersikap positif) atau bukan, ia cenderung akan menyetujui pertanyaan seperti di atas karena norma sosial kita seakan telah mengatakan bahwa kebersihan itu baik dan orang yang baik adalah orang yang menjaga kebersihan. Dengan begitu, pertanyaan itu tidak akan berfungsi sebagaimana seharusnya dan tidak ada gunanya dalam pengukuran sikap.
Para penulis pertanyaan, belajar dari pengalaman, menuliskan pertanyaan sikap dalam jumlah dan kemudian baru mengevaluasi satu persatu pertanyaan tersebut sesuai dengan kriteria yang baru dikemukakan di atas. Perbaikan dilakukan terhadap setiap pertanyaan yang perlu diperbaiki. Seringkali pula pemeriksaan kembali terhadap setiap pertanyaan itu menimbulkan ide atau gagasan baru sehingga dapat ditulis pertanyaan yang lebih baik.
Mereka yang memahami dasar-dasar konstruksi skala sikap dan pernah banyak berpengalaman dalam penulisan pertanyaannya akan lebih peka dalam mengevaluasi setiap pertanyaan dan umumnya dapat langsung mengetahui adanya kejanggalan-kejanggalan bahasa yang dipergunakan.
Setelah pertanyaan-pertanyaan sikap selesai ditulis, langkah berikutnya adalah melakukan penskalaan (scaling) terhadap pertanyaan tersebut dan memilih pertanyaan pertanyaan yang secara empirik memang berkualitas.
1.
METODE – METODE PENGUKURAN SIKAP
Suatu skala harus dirancang dengan hati-hati. Stimulusnya harus ditulis dan dipilih berdasarkan metode konstruksi yang benar. Skor terhadap respons seseorang harus diberikan dengan cara-cara yang tepat. Agar dapat memenuhi kualitas dasar alat ukur yang standar, maka skala harus mengembangkan terlebih dahulu apa yang disebut sebagai tabel spesifikasi. Dalam setiap perencanaan skala sikap, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penentuan tujuan ukur dan pembatasnya. Hal ini berarti bahwa:
1.
ciri-ciri objek psikologis yang berupa aspek kepribadian manusia yang hendak diungkap harus diidentifikasikan dengan jelas lebih dahulu.
2.
konsep harus dibatasi konstruk (construct) atau konsepsi teoritisnya, lalu didefinisikan secara operasional dalam bentuk dimensi-dimensi atau indikator-indikator perilaku sehingga dapat diukur
Pada perancangan skala terhadap konsep terdapat dua hal yang harus dijadikan perhatian, pertama adalah penentuan dan pembatasan konsep yang akan digunakan dan yang kedua adalah menentukan dimensi-dimensi atau indikator-indikator perilaku yang hendak diukur. Sedangkan pada perancangan skala sikap dua hal penting tersebut adalah: pertama adalah penentuan dan pembatasan konsepsi dari objek yang akan diukur dan yang kedua adalah penentuan batas objek yang hendak diukur.
Berikut ini beberapa metode pengukuran skala sikap yang telah lama di perkenalkan dan digunakan hingga kini :
1. Bogardus sosial distance scale
Bogardus(1925) mengajukan pengukuran kesenjangan sosial yang dapat menentukan hubungan antara sikap diberbagai jenis ras atau kelompok sebuah bangsa. Berbagai jenis pengukuran dari tekhnik ini akan memeperlihatkan adanya hubungan antara sikap/tingkah laku terhadap berbagai jenis kelompok sosial. Triandis (1964) telah meluaskan arti pekerjaannya dalam bidang ini. Dengan menggunakan analisis factor dia telah menemukan lima dimensi tingkah laku (sikap) terhadap kelas-kelas sosial dalam masyarakat, diantaranya :
1. Penghormatan
Contoh : mengagumi ide/pandangan seseorang.
2. Penerimaan perkawinan, misal : jatu cinta pada seseorang
3. Penerimaan terhadap persahabatan, misal : makan bersama
4. Kesenjangan sosial, misal : mengasingkan seseorang dari sekitarnya
5. Superordinasi, misal : memerintah seseorang
2. Thurstone Method Of Equal Appearing Interval
Thurstone (1928) mengajukan metode pengukuran sikap ini berbeda dengan pengukuran Bogardus dimana poin-poin pengukuran tidak terlalu diperlukan. Thurstone mencoba untuk mengembangkan sebuah metode yang mana dapat menunjukan secara cepat jumlah perbedaan antara prilaku satu responden dengan responden lainnya. Metode Thurstone membuat sebuah perkiraan penting yaitu pendapat seorang yang pandai tidak akan mempengaruhi nilai-nilai pertanyaan dari pengukuran tersebut. Pendapat ini dapat dibenarkan bila penilai tidak memiliki pandangan yang sangat berbeda akan topic yang bersangkutan, namun bagaimanapun juga jika yang terjadi adalah sebaliknya maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terpengaruh.
Jadi metode Thurstone ini berorientasi pada respon dari responden yang ditanyakan. Menurut pandangannya sikap merupakan suatu bentuk atau reaksi perasaan. Maka konsep Thrustone ini berlandaskan kepada perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unvorable) terhadap objek Yang diukur.
Dimana Thurstone disini mencoba mengetengahkan skala pengukuran dengan menyatakan :
1.kategori, peringkat dan jarak yang diukur
2.dinyatakan dengan angka 1 sampai dengan 5, atau 1 sampai dengan 7
3.menggunakan konsep jarak yang sama (equality interval) karena skala ini tidak menggunakan angka nol sebagai titik awal perhitungan
Contoh :
1.Pekerjaan yang saya lakukan mendorong saya untuk kreatif.
1
2
3
4
5
1 = Sangat tidak setuju 2 = Tidak setuju 3 = Netral/Tidak memutuskan
4 = Setuju 5 = Sangat setuju
Metode Likert’s Of Summated Rating
Metode likert dapat dikatakan sebagai yang pertama yang melakukan pendekatan dengan mengukur luas/dalamnya pendapat dari responden bukan hanya dengan jawaban “ya” atau “tidak”. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, namun setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa agar bisa dijawab dalam lima tingkatan jawaban pertanyaan/pertanyaan yang diajukan.
Secara sederhananya konsep skala likert’s meliputi :
*
Skala likert adalah skala yang mengukur sikap dengan menyatakan setuju atau ketidak setujuan terhadap subyek, obyek atau kejadian tertentu.
*
Urutan untuk skala ini umumnya menggunakan lima angka penilaian yaitu
(1). Sangat menyetujui
(2) setuju
(3) Netral (tidak pasti)
(4) Tidak setuju
(5) Sangat Tidak Setuju.
*
Urutan itu bisa dibalik.
*
Alternatif angka bisa bervariasi dari 3 sampai dengan 9
Contoh skala Likert’s :
DITEMPAT SAYA BEKERJA, KEPUTUSAN – KEPUTUSAN STRATEGIS SERING DIBUAT OLEH INDIVIDUAL DARIPADA KELOMPOK.
(1). Sangat Setuju (SS)
(2). Setuju (S)
(3). Tidak pasti
(4). Tidak Setuju (TS)
(5). Sangat Tidak Setuju (STS)
Osgood’s Semantic Differential (Skala perbedaan semantic Osgood’s)
Dalam penyusunan skala ini, serangkaian kata sifat yang menunjukkan ciri atau karakteristik stimulus atau objek sikap telah dipilih dan ditentukan, maka objek sikap disajikan sebagai stimulus tunggal pada setiap rangkaian, dan diikuti oleh kontinum-kontinum psikologis yang kedua kutubnya berisi kata sifat yang berlawanan tadi (Azwar 1995). bahwa kontinum psikologis pada teknik beda semantik ini dibagi menjadi tujuh bagian yang diberi angka 1 sampai 7, mulai dari kutub unfavorable sampai dengan kutub favorable. Apabila peletakan kutub favorable dan unfavorable itu dibalik, maka peletakan angka skornya pun disesuaikan sehingga perlu dibalik juga.
Contoh :
1 2 3 4 5 6 7
Cara pemberian angka seperti ini adalah cara yang telah disederhanakan yaitu angka 1 berarti adanya arah sikap yang unfavorable dengan intensitas tinggi, sedangkan angka 7 menunjukkan adanya sikap yang favorable dengan intensitas yang tinggi pula. Makin mendekati ke tengah kontinum maka arah sikap makin menjadi kurang jelas dan intensitasnyapun berkurang. Suatu posisi respons yang diletakkan pada angka 4, yang berada di tengah-tengah berarti adanya sikap netral terhadap objek yang bersangkutan bila dikaitkan dengan kata sifat yang berada pada kedua kutub kontinum.
Kesimpulan yang di dapat dari skala Osgood ini adalah sebagai berikut :
*Merupakan metode pengukuran sikap dengan menggunakan skala penilaian tujuh butir yang menyatakan secara verbal dua kutub (bipolar) penilaian yang ekstrim.
*Dua kutub ini bisa berupa baik-buruk, kuat lemah, modern-kuno dan sebagainya.
*Responden diberi ruang semantis untuk merefleksikan seberapa dekat sikap responden terhadap subyek, obyek atau kejadian tertentu diantara dua kutub.
*Metode ini umumnya digunakan untuk penilaian merek dagang, produk, pekerjaan, dan lain-lain.
scaling method
Salah satu kelemahan dari methode thurstone dan likert adalah perilaku responden yang diukur tidak memiliki arti yang khusus. Guttman mengajukan sebuah metode yang mana setiap nilai jawaban mempunyai arti yang unik. Guttman menggunakan indeks daftar kata-kata unutuk menentukan kesatuan ukuran, dan sebagai konsekuensinya pengukuran Guttman mungkin merupakan yang paling pendek (antara 4s/d10 max points) dan hanya dibatasi topik yang bersangkutan.
Topik yang biasa diangkat untuk dijadikan objek sikap dalam pengukuran guttman ini adalah mengenai keadaan politik, aspek kepercayaan/keyakinan (religius), tingkat aktifitas keagamaan, atau derajat etika tingkah laku. Dan didalam prosedur semua item pertanyaan hanya dijawab dengan “ya” atau “tidak”, “setuju” atau “tidak setuju”. Kemudian jawaban yang sudah didapat dikelompokan kedalam sebuah indeks.
Skala pengukuran sederhana
Secara lebih sederhananya skala pengukuran sikap dapat lebih dimengerti lagi dengan skala-skala pengukuran sikap berikut ini :
a. Skala sederhana
*Skala sederhana menggunakan skala nominal misalnya setuju atau tidak setuju, ya atau tidak.
*Skala ini digunakan bila kuesionar penelitian berisi relatif banyak butir pertanyaan, tingkat pendidikan responden rendah atau alasan lain.
c. Skala Numeris
*Skala numeris merupakan metode pengukuran yang teridiri dari 5 atau 7 alternatif nomor untuk mengukur sikap responden.
*Skala ini pada prinsipnya sama dengan skala perbedaan semantis, hanya saja langsung diberikan angka.
Skala Grafis
Metode ini menyatakan penilaian responden terhadap subyek, obyek atau kejadian tertentu dengan titik atau angka tertentu yang terletak didalam gambar atau grafik penilaian.
1 komentar:
bagus skali, trmksh
Posting Komentar