Selasa, 25 Mei 2010

Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation Theory)

LATAR BELAKANG TEORI

Judee BurgoonJudee Burgoon ( 1978, 1983, 1985) dan Steven Jones ( Burgoon & Jones. 1976) pertamakali merancang teori pelanggaran pengharapan nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation Theory/NEV Theory) untuk menjelaskan konsekwensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi. NEV Theory adalah salah satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas; hari ini teori digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang perilaku komunikasi nonverbal. (Infante, 2003: 177)

Judee K. Burgoon adalah Profesor Komunikasi dari Universitas Arizona AS dan merupakan salah seorang teoritikus wanita yang paling tekun dalam meneliti berbagai dimensi komunikasi nonverbal sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 1990-an. Pemikirannya yang tersebar dalam ratusan artikel yang dimuat dalam jurnal dan buku-buku komunikasi memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pemahaman kita tentang berbagai aspek komunikasi nonverbal dewasa ini.

Ada kisah unik dibalik ketertarikan Burgoon pada bidang komunikasi nonverbal. Ceritanya ketika masih kuliah di tingkat sarjana di Universitas West Virginia Amerika Serikat, Burgoon termasuk mahasiswi yang sangat cerdas tapi kurang menyukai topik-topik mata kuliah yang berkaitan dengan komunikasi nonverbal. Celakanya dalam mata kuliah seminar yang diikutinya salah seorang dosen justru memintanya untuk mengupas topik tentang komunikasi nonverbal. Merasa tidak punya pilihan akhirnya dengan segala kesungguhan (dan juga keterpaksaan) Burgoon membaca semua literatur yang ada.

Hasilnya ternyata luarbiasa, la tidak saja berhasil menyelesaikan tugas tersebut dengan bobot akademis yang tinggi tetapi juga membekaskan minat yang mendalam untuk melakukan penelitian komunikasi nonverbal lebih lanjut khususnya tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi.

Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak publik (lebih dari 10 kaki).

Terkait dengan keempat macam jarak tersebut kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut; Apa yang akan terjadi ketika seseorang menunjukkan tingkah laku nonverbal yang mengejutkan atau diluardugaan? atau bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah laku nonverbal yang mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik antarpribadi?. Berawal dari pertanyaan semacam itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi nonverbal masyarakat Amerika yang menghantarkannya pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Nonverbal Expectancy Violation Theory (NEV Theory).

Teori tersebut untuk pertama kalinya diuraikan secara panjang lebar dalam tulisan Burgoon bertajuk A Communication Model of Personal Space Violations : Explication and An Initial Test yang diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research volume 4 tahun 1978

ESENSI TEORI

Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan­-harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of Experience). Terpenuhi tidaknya ekspektasi ini akan mempengaruhi bukan saja cara interaksi kita dengan mereka tapi juga bagaimana penilaian kita terhadap mereka serta bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan mereka

Bertolak dari pernyataan diatas kemudian teori ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan-harapan tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.

Sebuah contoh kecil mungkin akan memperjelas pemahaman anda tentang asumsi teori ini. Anggaplah anda seorang gadis jujur yang sedang ditaksir dua orang pemuda.. Anda tidak bingung karena jelas anda hanya menyukai salah seorang diantara mereka. Apa yang terjadi ketika pemuda yang anda senangi tersebut menemui anda dan berdiri terlalu dekat sehingga melanggar jarak komunikasi antarpribadi yang diterima secara normatif? Besar kemungkinan anda akan menilainya secara positif. Itulah tanda perhatian yang tulus atau itulah perilaku pria sejati ujar anda. Namun bagaimana halnya bila yang melakukan tindakan tersebut pria yang bukan anda senangi? Anda akan bereaksi secara negatif. Anda akan mengatakan bahwa orang itu tidak tahu sopan santun atau mungkin dalam hati anda akan berujar “Dasar lu, kagak tahu diri!”

Jadi kita menilai suatu pelanggaran didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.

Menurut NEV Theory, beberapa faktor saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang kita harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni; Harapan (Expectancies), Valensi Pelanggaran (Violations Valence), dan Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence) (Griffin, 2004: 88).

Expectancies (Harapan)

Faktor NEV Theory yang pertama mempertimbangkanharapankita. Melalui norma-norma sosial kita membentuk ” harapan” tentang bagaimana orang lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola-pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing-masing individu atau pijakan kelompok. Jika perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun “yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi ( dan mungkin dengan sangat gelisah/tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi gangguan psikologis maupun kognitif dalam diri kita baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana emosional. (Infante, 2003: 177)

Kita mempelajari harapan dari sejumlah sumber ( Floyd, Ramirez;& Burgoon, 1999). Pertama, budaya di mana kita tinggal membentuk harapan kita tentang beragam jenis perilaku komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal. Pada budaya yang menganut “contact culture” kontak mata lebih banyak terjadi, sentuhan lebih sering, dan zone jarak pribadi jauh lebih kecil dibanding pada budaya yang menganut “noncontact culture”. Konteks di mana interaksi berlangsung juga berdampak pada harapan tentang perilaku orang lain. Sebagian besar dari kontak mata dari orang lain secara atraktif mungkin dilihat sebagai undangan jika konteks dari interaksi berlangsung dalam pertemuan klub sosial, sedangkan perilaku nonverbal yang sama mungkin dilihat sebagai ancaman jika perilaku tersebut diperlihatkan pada penumpang yang berjumlah sedikit di dalam kereta bawah tanah yang datang terlambat pada malam hari. Tergantung pada konteks, “belaian boleh menyampaikan simpati, kenyamanan, kekuasaan, kasih sayang, atraksi, atau … napsu” ( Burgoon, Coker,& Coker, 1986, p. 497). Makna tergantung pada situasi dan hubungan diantara individu-individu. Pengalaman pribadi kita juga mempengaruhi harapan. Kondisi interaksi kita yang berulang akan mengharapkan terjadinya perilaku tertentu. Jika kawan sekamar kita yang biasanya periang tiba-tiba berhenti tersenyum ketika kita masuk kamar, kita menghadapi suatu situasi yang jelas berbeda dengan harapan. NEV Theory menyatakan bahwa harapan “meliputi penilaian tentang perilaku yang mungkin, layak, sesuai, dan khas untuk suasana tertentu, sesuai tujuan, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari partisipan”( (Bur­goon & Hale, 1988, hal. 60). (Infante, 2003: 178)

Violation Valence (Valensi Pelanggaran)

Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif atau negatif. Penafsiran dan evaluasi kita tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal yang biasa disebut Violation Valenceatau Valensi Pelanggaran adalah elemen kedua yang penting dari teori NEV. NEV Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang diharapkan. Kita bersepakat tentang beberapa hal dan tidak setuju tentang beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku. Perilaku tertentu jelas-jelas divalensi secara negatif, seperti perlakuan tidak sopan atau isyarat yang menghina (seseorang, “menghempaskan burung kamu atau memelototkankan matanya pada kamu). Perilaku lain divalensi secara positif (seseorang memberi isyarat “v” untuk kemenangan karena perbuatan tertentu atau menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat barumu). Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga-duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu, perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan. Kamu mungkin menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai kasih sayang, suatu undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat kekuasaan. NEV Theory berargumen bahwa jika perilaku yang diberikan lebih positif dibanding dengan apa yang diharapkan, hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Dan sebaliknya, jika perilaku yang diberikan lebih negatif dibanding dengan apa yang diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran harapan yang negatif. (Infante, 2003: 178). Ini disebut juga Violation Valence atau Valensi Pelanggaran. Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai tindakan pelanggaran tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika kita tidak menyukai pelanggaran tersebut

Communicator Reward Valence (Valensi Ganjaran Komunikator)

Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga yang mempengaruhi reaksi kita. Sifat alami hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran ( atau jika pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita lebih sedikit berkeinginan memaklumi perilaku nonverbal yang tidak menepati norma-norma sosial; kita memandang pelanggaran secara negatif. (Infante, 2003: 178)

Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi norma-norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.

Valensi Ganjaran Komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan/ganjaran atau kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan, keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dari komunikator dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam istilah Burgoon disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam memberikan keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada dalam posisi ini disebut dengan istilah Low-Reward Person. Dalam konstruk Communicator Reward Valence juga tercakup hasil dari kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.

NEV Theory mengusulkan sebagai fakta bahwa hal tersebut tidak hanya sesuatu pelanggaran perilaku nonverbal dan reaksi kepada nya. Sebagai ganti(nya), NEV Theory berargumen bahwa siapa yang melakukan berbagai hal pelanggaran masi harus dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah suatu pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama dengan model interaksi nonverbal lainnya seperti teori penimbulan pertentangan/discrepancy arousal theory ( lihat Lepoire & Burgoon, 1994), NEV Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang ekstrim dari suatu harapan” boleh jadi dipandang secara positif jika itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan tinggi (Burgoon & Hale, 1988, hal.63). (Infante, 2003: 179)

Di samping tiga konstruk pokok sebagaimana diuraikan di atas, Burgoon juga mengajukan sebelas proposisi yang menjadi landasan teoritisnya.(Burgooon, 1978: 129-142).Proposisi-proposisi ini tidak mengalami perubahan sejak penabalan teori ini pada tahun 1978. Berikut adalah kesebelas proposisi tersebut:

1. Manusia memiliki dua kebutuhan yang saling berlomba untuk dipenuhi yakni kebutuhan untuk berkumpul atau bersama sama dengan orang lain dan kebutuhan untuk menyendiri (personal space). Kedua kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi secara bersamaan.
2. Hasrat untuk bergabung dengan orang lain digerakkan atau diperbesar oleh hadirnya ganjaran dalam konteks komunikasi. Ganjaran tersebut dapat bersifat biologis maupun sosial.
3. Semakin tinggi derajat suatu situasi atau seseorang dianggap menguntungkan (rewarding), semakin besar kecenderungan orang untuk mendekati seseorang atau situasi tersebut. Sebaliknya semakin tinggi sesorang atau suatu situasi dipandang tidak memberikan manfaat semakin besar kecenderungan orang untuk menghindari seseorang atau situasi tersebut.
4. Manusia memiki kemampuan untuk merasakan gradasi dalam jarak Pola interaksi manusia, termasuk ruang pribadi atau pola jarak, bersifat normatif
5. Manusia dapat mengembangkan suatu pola tingkah laku yang berbeda dari norma-norma social.
6. Dalam konteks komunikasi manapun, norma-norma adalah fungsi dari faktor (1) karakteristik orang yang berinteraksi, (2) bentuk dari interaksi itu sendiri dan (3) lingkungan sekitar saat komunikasi berlangsung
7. Manusia mengembangkan harapan-harapan tertentu pada perilaku komunikasi orang lain. Konsekuensinya tiap orang memiliki kemampuan untuk membedakan atau setidaknya memberikan tanggapan secara berbeda terhadap perilaku komunikasi orang lain yang menyimpang atau sejalan dengan norma-norma sosial.
8. Penyimpangan dari harapan-harapan yang muncul akan membangkitkan tanggapan tertentu.
9. Orang-orang yang berinterkasi membuat evaluasi terhadap orang lain.
10. Penilaian-penilaian yang dilakukan dipengaruhi oleh persepsi terhadap sumber, bila sumber dihormati atau dianggap dapat memberikan ganjaran maka pesan komunikasinya akan dianggap penting pula demikian sebaliknya. (Venus: 2004: 484)

Proposisi pertama sebagaimana dinyatakan diatas menurut Neuliep (2000) dirujuk dari konsep-konsep dasar ilmu Antropologi, sosiologi dan Psikologi yang meyakini bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memiliki naluri biologis untuk berdekatan atau hidup bersama orang lain. Sebaliknya manusia tidak bisa mentoleransi kedekatan fisik yang berlebihan karena manusia memiliki kebutuhan terhadap ruang pribadi dan privasi. Meski proposisi pertama ini tampaknya berlaku universal, namun kapan dan bagaimana derajat kebutuhan orang untuk menyendiri atau bersama orang lain sepenuhnya ditentukan secara kultural.

Proposisi kedua mengindikasikan bahwa hubungan kita dengan orang lain dipicu oleh ganjaran dalam konteks komunikasi. Dalam hal ini ganjaran tersebut dapat bersifat biologis (makanan, seks, atau rasa aman) atau sosial (rasa memiliki, harga diri atau status). Kebutuhan biologis dapat dipastikan berlaku universal, namun kebutuhan sosial umumnya dipelajari dari lingkungan dan akan berbeda dari satu budaya ke budaya lain.

Proposisi ketiga pada dasarnya menegaskan proposisi kedua dengan menambahkan bahwa manusia cenderung tertarik pada situasi yang mendatangkan ganjaran dan menghindari situsiasi komunikasi yang mengakibatkan kerugian. Proposisi ini juga tampaknya bersifat universal, namun perlu dicatat bahwa apa yang dianggap sebagai situasi yang menguntungkan atau merugikan akan dipahami secara berlainan dalam budaya yang berbeda.

Proposisi keempat manusia memiliki kemampuan untuk merasakan berbagai bentuk perbedaan dalam penggunaan jarak berkomunikasi. Atas dasar ini tiap individu dapat mengatakan kapan sesorang berbicara terlalu dekat atau terlalu jauh dengan dirinya.

Proposisi kelima terkait dengan penepatan perilaku nonverbal yang bersifat normatif Perilaku normatif disini diartikan sebagai perilaku yang umumnya diterima secara sosial dan memiliki pola-pola yang khas.

Proposisi keenam menegaskan bahwa meskipun tiap-tiap individu mengikuti aturan-aturan komunikasi verbal dan nonverbal yang normatif, tiap orang juga pada prinsipnya dapat mengembangkan gaya interaksi yang bersifat personal yang khas bagi dirinya sendiri.

Proposisi ketujuh menyatakan bahwa norma-norma komunikasi pada dasarnya merupakan fungsi dari karakteristik pelaku komunikasi (seperti jenis kelamin dan usia), karakteristik interaksi (misalnya derajat keakraban pelaku komunikasi dan status sosial masing-masing), serta karakteristik lingkungan yang meliputi seluruh aspek yang terkait dengan penataan tempat terjadinya peristiwa komunikasi.

Proposisi kedelapan berhubungan dengan unsur kunci teori ini yaitu konsep Ekspektasi. Dalam hal ini Burgon berpendapat bahwa selama proses komunikasi berlangsung pelaku komunikasi mengembangkan harapan­harapan tertentu pada perilaku nonverbal orang lain. Siapapun yang menjadi mitra komunikasi kita diharapkan dan diantisipasi berperilaku secara patut sesuai situasi yang dihadapi. Harapan-harapan nonverbal tersebut didasarkan pada norma-norma hudaya yang secara sosial berlaku pada suatu budaya tertentu. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu boleh jadi orang berharap munculnya perilaku yang berbeda yang keluar dari norma­norma yang berlaku.

Proposisi kesembilan terkait dengan unsur kunci NEV theory lainnya yakni Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations). Sebagaimana dijelaskan di muka, ketika pengharapan nonverbal seseorang dilanggar, orang tersebut akan bereaksi dengan cara menafsirkan dan mengevaluasi apakah pelanggaran tersebut menguntungkan atau merugikan. Reaksi yang muncul dapat berupa perilaku komunikasi yang bersifat adaptif atau defensif.

Proposisi kesepuluh berkenaan dengan penilaian-penilaian yang dibuat oleh seseorang terhadap perilaku nonverbal orang lain.

Proposisi kesebelas memperjelas bagaimana tindakan evaluatif tersebut dibuat. Dalam hal ini ditegaskan bahwa faktor yang paling menentukan apakah suatu pelanggaran harapan nonverbal akan dinilai positif atau negatif adaiah derajat kemampuan komunikator untuk memberikan reward pada mitra komunikasinya atau dalam istilah teori ini disebut Communicator Reward Valence.

Burgoon dan Joseph Walther ( 1990) menguji berbagai touch-behaviors, proxemics, dan postures untuk menentukan mana yang diharapkan atau tak diharapkan di dalam komunikasi antarpribadi dan bagaimana harapan dipengaruhi oleh status sumber, daya pikat, dan gender. Beberapa penemuan menunjukkan bahwa jabatan tangan paling diharapkan sedangkan lengan di bahu adalah paling sedikit diharapkan. Perawakan tegap paling diharapkan dan perawakan yang tegang paling sedikit diharapkan. (Infante, 2003: 179)

Suatu studi dengan memanipulasikan nilai penghargaan dari komunikator dan valensi dan ekstrimitas dari perilaku pelanggaran dilakukan untuk menyelidiki interaksi antara siswa dan professor (Lannutti, Laliker,& Hall, 2001). Suatu skenario diciptakan denmgan menyertakan percakapan siswa dan professor. Suatu studi eksperimen memanipulasikan lokasi sentuhan profesor (tanpa sentuhan, sentuhan di tangan, atau paha), nilai penghargaan untuk profesor ( dari terendah, tidak suka atau dan meremehkan, atau yang tertinggi suka dan menghormati), dan jenis kelamin dari peserta (pria atau wanita). Jenis kelamin profesor juga disesuaikan sedemikian rupa sehingga selalu berlawanan jenis dengan peserta. Evaluasi tentang profesor kemudian diukur. ). (Infante, 2003: 180)

Teori pelanggaran pengharapan nonverbal “secara parsial didukung” pada studi ini oleh karena berdasarkan evaluasi peserta wanita, profesor menjadi lebih negatif ketika keakraban dari sentuhan ditingkatkan. Semakin tak terduga sentuhan, semakin buruk profesor dan interaksi dievaluasi oleh peserta wanita ( Lannutti, Laliker,& Hall, 2001). ). (Infante, 2003: 180)

PENERAPAN DAN KETERKAITAN TEORI

Pada awalnya teori Burgoon ini hanya diterapkan dalam koteks pelanggaran penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi (Spatial violations), namun sejak pertengahan tahun 1980-an Burgoon menyadari bahwa perilaku penggunaan ruang dan jarak sebenarnya hanyalah bagian dari sistem isyarat nonlinguistik dalam komunikasi nonverbal. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian Burgoon mulai menerapkan teori ini pada aspek­aspek komunikasi nonverbal lainnya seperti ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan sampai pada isyarat gestural lainnya. Dengan perluasan ini maka keberlakukan dan pemanfaatan teori ini menjadi semakin luas.

Kini teori ini telah hadir di tengah-tengah komunitas ilmuwan komunikasi selama lebih dari dua puluh tahun. Banyak diantara peminat studi komunikasi yang menerapkan teori ini dalam konteks komunikasi antarpribadi. Sayangnya menurut Neulip (2000) Penerapan teori ini dalam konteks antarpribadi pada setting komunikasi antarbudaya terasa sangat kurang sekali. Padahal teori ini merupakan salah satu terobosan untuk dapat memahami dan mengidentifikasi pola-pola perilaku komunikasi berbagai kultur/masyarakat. Dengan memahami teori ini, lanjut Neulip, kita akan lebih mengetahui faktor-faktor apa sebenarnya yang dapat melancarkan transaksi komunikasi kita dengan orang lain yang berbeda budaya.

Dalam hat keterkaitan teoritis, dapat dikatakan setidaknya ada tiga teori yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan teori Pelanggaran Harapan Nonverbal. Keempat teori tersebut adalah Proxemics Theory , Anxiety/Uncertainty Management (AUM) Theory, dan Social Exchange Theory (SET).

Proxemics Theory merupakan akar dari perumusan asumsi-asumsi dalam teori pelanggaran harapan nonverbal. Bertolak dari konsep penggunaan ruang dan jarak dalam proksemikalah awal perjalanan teori ini dimulai, karena itu jelas kedua teori ini tidak dapat dipisahkan.

Dalam menjelaskan hubungan antara NEV Theory dengan Anxiety/Uncertainty Management (AUM) Theory, Ting Tomey dan Chung (Gudykunst, et-al., 1996) menegaskan bahwa kedua teori tersebut bersifat saling melengkapi. keterkaitan kedua teori tersebut terutama tampak dalam hal penggunaan konsep ekspektasi dalam proses interaksi, konsep ketidaknyamanan dalam komunikasi yang ambigu atau tindakan-tindakan mengevaluasi suatu perilaku komunikasi.

Sementara dengan Social Exchange Theory keterkaitan teori ini dapat dilihat dalam hal penggunaan konsep ganjaran dan kerugian. Dalam hal ini kedua teori ini berpendapat bahwa orang yang dipandang dapat memberikan ganjaran lebih (High-Reward Person) akan menciptakan situasi komunikasi yang lebih favourable (nyaman). Demikian berlaku sebaliknya bagi individu dalam kategori Low-Reward Person.

EVALUASI DAN PERKEMBANGAN TEORI

Burgoon (Liltlejohn, 1996; Griffin,2000) secara konsisten mengembangkan teori ini sejak penabalannya pada tahun 1978. Beberapa perbaikan yang dengan mudah dapat diidentifikasi diantaranya mencakup penyederhanaan empat konstruk teori ini yang semula meliputi Harapan (Expectancies), Pelanggaran Harapan (Expectancy- Violations), dan Valensi Komunikator (Communicator Valence) dan Valensi Pelanggaran (Violation Valence) menjadi tiga yakni dengan tetap mempertahankan konstruk Harapan (Expectancies), dan Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations), serta menggabungkan Valensi Komunikator dan Valensi Pelanggaran menjadi satu konstruk Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence).

Dalam hal keterandalan teori, James W. Neuliep (2000) menyatakan bahwa tidak sedikit temuan-temuan penelitian yang mendukung teori Pelanggaran Harapan Nonverbal ini. Penelitian yang dilakukan Lodbell tahun 1990 tentang teman dan anggota keluarga yang baru pulang dari perjalanan keluar negeri dengan membawa nilai dan perilaku yang berbeda serta survey yang dilakukan oleh Chung dan Ting­Tomey (1994) terhadap Etnik Asian-American tentang dentitas etnik mereka dan harapan-harapan dalam berkomunikasi sejalan dengan asumsi dan proposisi-propoisi yang dinyatakan dalam teori ini. Demikian pula penelitian yang dilakukan Kernahan, Bartholow dan Battencourt (Wise, 2000) yang berjudul Effects of Category-Based Expectancy on Affect-Related Evaluation yang diterbitkan dalam Journal of Basic and Applied Social Psychology edisi 22/2000 juga mendukung keberlakuan teori Pelanggaran Harapan Nonverbal dalam konteks komunikasi antarbudaya.

Meski banyak dukungan diberikan oleh ilmuwan komunikasi terhadap keberlakuan teori Pelanggaran Harapan Nonverbal, namun teori ini tidak terbebas dari kritikan. Salah satunya disampaikan Griffin (2000) yang menyatakan bahwa teori ini tidak sepenuhnya memperhitungkan mengenai hubungan timbal balik di antara pelaku komunikasi dalam suatu proses interaksi. Tampak jelas bahwa penilaian terhadap pelanggaran nonverbal dilakukan hanya oleh pihak yang dilanggar bukan oleh kedua belah pihak.

Penutup

Teori pelanggaran pengharapan terus berlanjut dengan berbagai riset; modifikasi dan revisi dari teori masih akan muncul. NEV THEORY membuat kita lebih sadar akan pengaruh dari perilaku nonverbal kita (seperti, jarak, sentuhan, kontak mata, senyum). Hal tersebut secara praktis mengingatkan bahwa jika kita terlibat dalam perilaku komunikasi nonverbal orang lain yang melanggar harapan, itu bisa membuat kita lebih bijaksana untuk merenungkan “nilai penghargaan” kita. Dan jika hal tersebut terjadi pada kita, itupun bisa membuat kita lebih bijaksana untuk memikirkan kembali perilaku kita

0 komentar:

Posting Komentar