A. PENDAHULUAN
Dalam proses komunikasi, pesan merupakan sekumpulan lambang komunikasi yang memiliki makna dan kegunaan dalam menyampaikan suatu ide gagasan kepada manusia lain. Pesan dirancang oleh komunikator untuk disampaikan kepada komunikan melalui saluran komunikasi tertentu. Penyandian pesan (encoding) akan disesuaikan dengan karakteristik saluran pesan yang dipilih untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Karena saluran komunikasi menentukan bagaimana suatu pesan dikemas. Pesan yang sampai kepada komunikan akan diterima melalui proses pemaknaan pesan (decoding).
Menurut Ritonga, (2005:20) pesan yang disampaikan kepada komunikan pada dasarnya merupakan refleksi dari persepsi atau perilaku komunikan sendiri. Komunikator dalam merancang pesan berorientasi (berpedoman) pada komunikan agar ditafsirkan sama dan diharapkan dapat mempengaruhi komunikan untuk bersikap dan berperilaku sesuai yang diharapkan komunikator.
Pesan menurut Vardiansyah, (2004:60) adalah segala sesuatu yang disampaikan komunikator pada komunikan untuk mewujudkan motif komunikasinya. Pesan pada dasarnya bersifat abstrak. untuk membuatnya konkret manusia dengan akal budinya menciptakan lambang komunikasi: mimik, gerak gerik, suara, bahasa lisan dan bahasa tulisan. Karena itu, lambang komunikasi adalah bentuk atau wujud konkret dari pesan.
Lambang komunikasi diartikan sebagai kode atau simbol, atau tanda yang digunakan komunikator untuk mengubah pesan yang abstrak menjadi konkret. Komunikan tidak akan tahu apa yang kita pikirkan dan rasakan sampai kita mewujudkan pesan dalam salah satu bentuk lambang komunikasi; mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan atau bahasa tulisan. (Vardiansyah, 2004:61) Sebuah pesan tidak lahir begitu saja, tapi melewati suatu proses tertentu yang -disadari atau tidak disadari oleh pembuatnya—memengaruhi corak pesan tersebut.
Pada pembahasan kali ini kami membahas mengenai teori-teori produksi pesan yang dibahas oleh Stephen W Littlejohn dalam bukunya Theories of Human Communication dan Kathrine Miller dalam bukunya ”Communication Theories : Perspectives, Processes, and Contexts” edisi kedua pada bab 7, serta referensi-referensi terkait lainnya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai teori-teori produksi pesan dengan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses yang didalamnya terdapat teori-teori berikut ini :
1. Teori Akomodasi
2. Teori Konstruktivis
3. Teori Message Design Logis
4. Teori Action Assembly (Kumpulan Aksi)
5. Teori Perencanaan Dan Tujuan (Plain And Goal)
B. PEMBAHASAN
Komunikasi adalah proses yang berpusat pada pesan bersandar pada informasi. Teori-teori yang dikemukakan pada pembahasan kali ini berpusat pada individual. Teori-teori produksi pesan oleh Littlejohn (2002 : 176) menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses. Yang secara jelas akan diuraikan berikut ini :
1. Penjelasan sifat
Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat dan variabel lain-hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis-jenis pesan tertentu. Teori-teori ini memprediksikan bahwa ketika anda memiliki sifat personalitas tertentu, anda akan cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu. Contohnya, orang dengan personalitas argumentatif menyukai berdebat. dalam bagian ini littlejohn (2005: 177) berkonsentrasi pada beberapa hal yang menonjol.
Ketakutan berkomunikasi
Ketakutan akan komunikasi adalah problema praktis serius bagi banyak orang. Ketakutan komunikasi (Communication Appherension/CA) dapat merupakan sifat atau keadaan. Dalam hal ini terdapat tiga jenis CA. Pertama, Traitlike CA adalah tendensi yang abadi menjadi prihatin mengenai komunikasi dalam berbagai setting, dan individu yang menderita ketakutan jenis ini mungkin menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Kedua, generalized-context CA, ketakutan seseorang terhadap beberapa jenis komunikasi tertentu seperti berbicara di depan publik, namun mungkin menampilkan sedikit ketakutan pada jenis komunikasi lainnya. Ketiga, Person-Group CA, takut akan komunikasi dengan orang spesifik atau kelompok tertentu seperti gelandangan.
Sensitivitas retoris
Sensitivitas retoris merupakan -tendensi untuk mengadaptasikan pesan ke audiens- ditemukan oleh Roderick Hart dan kolega-koleganya. Para ahli teori ini menemukan bahwa komunikasi efektif muncul dari sensitivitas dan perduli dalam menyesuaikan apa yang anda katakan terhadap pendengar.
Sensitif retoris mewujudkan kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain, dan sikap situasional. Orang-orang yang sensitif retoris menerima kompleksitas personal, memahami bahwa individu merupakan komposit dari banyak diri. Orang harus berhubungan dengan ”diri” yang beroperasi dalam situasi yang ada. Individu adaptis retoris menghindari kekakuan dalam berkomunikasi dengan yang lain, dan mereka berupaya menyeimbangkan kepentingan sendiri denngan kepentingan orang lain. Orang ini mencoba menyesuaikan apa yang mereka katakan pada level, mood, dan keyakinan orang lain.
Idea usulan sensitifitas retoris adalah individu memiliki sifat atau gaya yang menonjol saat mereka berkomunikasi. Gaya komunikasi, diteliti oleh Robert Norton dan kolega-koleganya, berdasarkan pada ide bahwa kita berkomunikasi pada dua level. Kita bukan hanya memberi informasi, namun kita juga menyajikan bahwa inormasi dalam bentuk tertentu yang menyampaikan pada orang lain bagaimana memahami dan menanggapi suatu pesan.
2, Penjelasan situasi
Keadaan pikiran dan perilaku manusia sangat banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, peristiwa persepsi terhadap situasi. Dalam bagian ini terdapat dua teori; teori umum dan teori khusus.
2.a. suatu pendekatan umum
Michael Jody, Margaret Mclaughilin, dan koleganya telah melakukan riset yang sungguh-sungguh untuk mengetahui faktor-faktor situasional umum yang mempengaruhi pilihan pesan.
Suatu situasi komunkasi merupakan peristiwa komunikasi yang menyeluruh termasuk partisipan (siapa), setting (dimana), dan aktivitas yang dilakukan (apa). Individu-individu menggunakan pengetahuan mereka mengenai situasi dengan sejumlah cara, salah satuya adalah mengevaluasi orang lain.
Orang juga menggunakan situasional untuk menetapkan tujuan-tujuan komunikasi mereka. Pengetahuan situasional membantu kita menentukan mengapa kita ada di sana dan apa yang ingin kita selesaikan. Jadi jelaslah, bahwa cara orang berkomunikasi tergantung pada setidaknya tujuan-tujuan yang didefinisikan dalam situasi. Dan perilaku seseorang sering dipengaruhi oleh pengetahuan situasional.
Akhirnya, dan yang mungkin paling penting orang menggunakan pengetahuannya terhadap situasi untuk memandu perilakunya. Bagaimana saya mencoba untuk membujuk orang lain untuk berubah? Bagaimana saya akan melakukannya? Bagaimana saya bicara? Akankah saya tinggal diam? Akankah saya menjadi jenaka dan luwes atau keras dan formal? Anda akan menjawab definisi ini berdasarkan definisi anda terhadap situasi itu.
2.b. suatu pendekatan khusus
Janet Beavin Bavelas dan koleganya telah membatasi penelitiannya khususnya pada komunikasi equivokal atau pesan-pesan dengan sengaja tidak jelas. Pesan-pesan tersebut tidak langsung atau berterus terang dan pendengar harus menduga artinya daripada menangkapnya secara langsung. Kebanyakan orang menggunakan komunikasi equivokal dari waktu ke waktu untuk melindungi perasaan-perasaan orang lain dan lari dari akibat yang tidak menyenangkan dari kejelasan. Contoh, apa yang akan anda katakan bila seorang teman bertanya tentang pendapat anda mengenai pakaiannya yang seram? Anda berbohong dengan sengaja : ”buatannya menarik, saya tak pernah melihatnya sebelumnya”. Menurut ahli teori ini, seluruh komunikasi terdiri dari empat bagian proses yang sederhana :( 1) saya, (2) mengatakan sesuatu, (3) kepada anda, (4) dalam situasi ini.
kerja ini menunjukkan bahwa situasi dapat memiliki efek yang kuat pada perilaku komunikasi, terlepas dari tendensi individual.
3. Penjelasan Proses
Teori proses berupaya menjelaskan mekanisme membuat pesan komunikasi. Dalam hal ini Litllejohn ( 2005: 169) mengemukakan beberapa teori yang drumuskan oleh beberapa ahli komunikasi diantaranya:
3.1 Teori Akomodasi
Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan koleganya, teori ini berkaitan dengan penyesuaian interpersonal dalam interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain.
Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Teori akomodasi didapatkan dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan dalam bidang ilmu lain, dalam hal ini psikologi sosial. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)
Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan, memodifikasi atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. (West dan Lynn Turner, 2007: 217)
Teori akomodasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, dan mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini akan diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan.
Proses pertama yang dhubungkan dengan teori akomodasi adalah konvergensi. Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan Lynn Turner (2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman, tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan. Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan.
Proses kedua yang dihubungkan dengan teori akomodasi adalah divergensi yaitu strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.
Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek.
Proses ketiga yang dapat dihubungkan dengan teori akomodasi adalah Akomodasi Berlebihan : Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah ”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.” istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan.
3.2. Action Assembly Theory / Teori Kumpulan Aksi (John Greene : 1984)
John Greene dalam teorinya Action Assembly Theory menjelaskan tentang cara seseorang mengorganisasikan pengetahuan dengan pikiran dan menggunakannya untuk membentuk pesan. Teori ini menjelaskan struktur dan proses yang tersebut dalam aksi komunikatif. Teori ini menguji cara pengetahuan diurutkan dan digunakan dalam komunikasi.
Greene menyebut dua komponen pengetahuan yakni pengetahuan isi (content knowledge) dan pengetahuan prosedural (procedural knowledge). You know about things, and you know how to do things (Terjemahan: Anda tahu tentang sesuatu, dan Anda tahu bagaimana melakukan sesuatu itu).
Pengetahuan procedural terdiri dari suatu kesadaran akan konsekuensi dari berbagai aksi dalam situasi-situasi yang berbeda. Seluruh pengetahuan procedural kita terdiri dari sejumlah besar “catatan prosedural”, masing-masing disusun dari pengetahuan mengenai suatu aksi, hasilnya, dan situasi dimana ia sesuai. Karena orang ingat dari hasil aksi, mereka dapat berperilaku dengan efektif pada kesempatan mendatang.
Sebagai contoh, bagaimana kita tahu cara-cara memeperkenalkan diri kepada orang lain pada suatu pesta? Dari pengalaman dan pegamatan terhadap orang lain yang melakukan hal itu, kita memiliki pengetahuan berbagai macam cara.
Dalam Action Assembly Theory, procedural knowledge menjadi pusat perhatian utama. Greene menggambarkan cara kerja procedural knowledge seperti titik-titik (node) yang saling terhubung satu sama lain bagaikan website di internet. Node pengetahuan tersebut terutama yang berkaitan dengan perilaku, konsekuensi dan situasi.
Ket. Gambar: Cara kerja procedural knowledge dengan node pengetahuan yang saling terhubung membentuk jejaring yang akhirnya menghasilkan sebuah pesan
Sumber: http//bambangsukmawijaya.files.wordpress.com/2009/09/john-greene-theory/.jpg
Greene memberi contoh ketika kita berjumpa seseorang, biasanya kita akan tersenyum dan mengucapkan, “Hai, apa kabar?” dan kemudian orang tersebut akan membalasnya dengan berkata, “Baik, bagaimana kabar Anda juga?”. Kita menyimpan ini dalam memori sebagai suatu pengetahuan yang saling berhubungan antara situasi menyapa seseorang, tindakan tersenyum, menggunakan kata-kata tertentu, dan mendapatkan hasil berupa balasan sapaan dari orang lain.
Pada kasus yang lebih kompleks, hal-hal yang saling berkaitan semacam itu, di mana pada prosedur tertentu terdapat hubungan yang paling sering digunakan atau yang terakhir digunakan –sehingga menjadi semakin kuat, maka node pengetahuan itu akan membentuk modul-modul atau pola. Greene menyebut modul-modu tersebut sebagai procedural record, yaitu sekumpulan hubungan yang terbentuk oleh node dalam kegiatan jaringan yang cenderung menguat.
Lebih lanjut, Greene juga menjelaskan bahwa jika hubungan pengetahuan tersebut menjelma menjadi beberapa himpunan kegiatan dalam urutan tindakan tertentu yang secara kuat saling berkelompok dan sering digunakan, maka akan menjadi tindakan yang terprogram. Greene mengistilahkan tindakan terprogram ini sebagai “unitilized assemblies”. Ritual memberikan salam seperti yang dipaparkan di atas merupakan contoh yang bagus mengenai “unitilized assemblies”.
Menurut Greene, tidak ada tindakan tunggal yang dapat berdiri sendiri. Setiap tindakan memengaruhi tindakan yang lain dengan suatu cara tertentu. Untuk memperkenalkan diri misalnya, kita harus menggunakan berbagai tindakan mulai dari tekanan suara dengan kata-kata dan gerakan. Untuk menuliskan paragraf, kita harus menggabungkan berbagai aksi dari pengetahuan yang terkordinasi dalam bahasa untuk menulis atau mengetik.
Tindakan tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam jaringan pengetahuan. Setiap bagian pengetahuan merepresentasikan sesuatu untuk melakukannya. Tujuan yang lebih tinggi (seperti melakukan perkenalan) dan yang lebih rendah (seperti tersenyum) digabungkan dalam sebuah hasil representasi yang mengantarkan kita ke suatu tindakan komunikasi. (Littlejohn, 2005: 193-195).
3.3. Teori Konstruktivist
Teori konstruktivis atau konstruktivisme (Miller, 2005 : 105) adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan–rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Konstruktivist melakukan pendekatan pemahaman produksi pesan dimulai dari system kognitif individu.
George Keely dalam Ardianto (2007 : 158) menegaskan cara pandang pemahaman pribadi seseorang dilakukan dengan pengelompokan peristiwa menurut persamaan dan perbedaannya. Perbedaan ini menjadi dasar penilaian ihwal sistem kognitif individual yang besifat pribadi dan karenanya berbeda dengan konstruksi sosial. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks. Individu yang cerdas secara kognitif dapat membuat banyak perbedaan dalam satu situasi dibanding orang yang secara kognitif lemah. Inilah yang disebut differensiasi kognitif. Differensiasi ini mempengaruhi bagaimana pesan menjadi kompleks.
Delia dan koleganya kemudian menegaskan hubungan antara kompleksitas kognitif dengan tujuan dari pesan. Pesan sederhana hanya memiliki satu tujuan sementara pesan kompleks memiliki banyak tujuan. Dalam komunikasi antarpersona pesan-pesan sederhana berupaya mencapai keinginan satu pihak saja tanpa mempertimbangkan keinginan orang lain. Sementara pesan kompleks dirancang memenuhi kebutuhan orang lain. Pada pesan kompleks inilah komunikasi antarpersona dapat tercipta. Konstruksionisme dengan demikian dapat dikategorikan komunikasi yang berpusat pada orang (komunikasi berbasis diri) dan differensiasi kognitif menunjukkan adanya desain pesan.
Komunikasi berbasis ”diri”
Selain kompleksitas kognitif, komponen utama yang lain dari teori constructivist melibatkan pesan yang dihasilkan. Sekali lagi, beberapa teori dasar constructivis propositions menginformasikan tentang fitur komunikasi. Teori Bernstein (1975) menyatakan bahwa individu dalam melakukan sesuatu dikonstruksi oleh orientasi kehidupannya sendiri dan oleh orientasi posisi subjek itu dalam hidupnya. Individu yang berbasis subjek akan menggunakan elaborasi kode yang menghargai kecenderungan, perasaan, dari sudut pandang orang lain. Sebaliknya, individu berbasis posisi akan menggunakan kode-kode terbatas yang mengikuti aturan dan norma-norma situasi kutural tertentu. (MiIler, 2005: 107)
Komunikasi berbasis diri adalah model komunikasi yang memeriksa proses lahirnya pesan berdasarkan orientasi diri. Menurut teori kalangan konstruktivits, pesan- pesan berbasis diri merefleksikan kewaspadaan dan adaptasi subjektif, afektif serta aspek relasional dalam konteks komunikasi. Sebuah pesan berbasis ”diri” merupakan suatu gagasan yang menyokong kebutuhan pendengarnya, perhatian atas situasi yang mungkin dan mengarah pada tujuan yang beragam.
Selanjutnya kaum konstruktivis merumuskan tingkatan bagaimana sebuah pesan bisa berbasis ”diri” melalui pengkodean respons buka-tutup. Dalam menganalisis pesan ini, para peneliti akan menanyakan produksi pesan berbasiskan situasi tertentu (misalnya, bagaimana membuat nyaman seorang teman yang baru mengalami keretakan hubungan dengan kekasihnya, berbicara dengan orang tua hingga terlelap). Pesan-pesan ini kemudian dikodekan dengan menggunakan sistem pengkodean tertentu secara hierarkis yang kemudian dikembangkan untuk pesan dalam situasi spesifik. (Ardianto, 2007: 160)
Asumsi dasar teori ini adalah hubungan yang terbentuk dalam sebuah kelompok sosial akan mempengaruhi jenis pembicaraan yang digunakan oleh kelompok itu. Prinsip dasar konstruktivisme adalah tindakan ditentukan oleh konstruk diri juga sekaligus konstruk lingkungan luar diri. Komunikasi pun demikian, ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Pada titik ini dikemukakan teori Ron Herre mengenai perbedaan antara person dan self. Person adalah diri yang terlibat dalam lingkup publik, pada dirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya. Self adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah pengaruh sosial budaya masyarakatnya (Ardianto, 2007: 160). Sementara itu Mead (2008:106) mendefinisikan ”diri” /self sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang khusus- maksudya membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Dan Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain.
Pembagian konsep diri ini diperlukan untuk memahami konteks komunikasi interaksi. Konsep diri menurut West & lynn H. Turner (2008:101) seperangkat perspektif yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri.
Prinsip konstruksivisme menyatakan bahwa situasi emosi atau alasan merupakan konstruksi dari situasi yang mempengaruhi individu. Misalnya emosi bukanlah reaksi yang muncul begitu saja. Emosi dimaknai dan dikemukakan sesuai dengan aturan yang sudah dipelajari dalam interaksi sosial dengan orang lain. Faktor lain yang mempengaruhi proses komunikasi berbasis diri adalah konsep tentang tujuan. Setiap individu dalam interaksinya selalu berusaha untuk memanajemen tujuan. Tujuan itu bisa bersifat instrumental (seperti mengajak atau memberitahukan seseorang) dan relasional (mendukung penampilan seseorang, menunjukkan pesona diri).
3.4. Model Logika Disain Pesan (B.J.O’Keefe)
Desain pesan didasarkan pada kecenderungan seseorang dalam memanajemen tujuannya untuk kepentingan sampainya tujuan melalui pesan yang dipilihnya. B.J. O’Keefe dan Delia menyatakan bahwa pesan berbasis diri lebih kompleks dalam tindakannya karena mereka menentukan tujuan yang beragam. O’Keefe menggunakan term kompleksitas tindakan untuk merujuk pada bagaimana kebutuhan yang kompleks ini diatur dalam suatu interaksi. Logika Desain Pesan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai alur pikiran berbeda yang digunakan dalam mengurus tujuan-tujuan yang saling bertentangan. O’Keefe menyimpulkan, variasi strategi manajemen tujuan yang diamati merupakan hasil dari variasi dalam sebuah sistem prinsip yang digunakan untuk mendasari makna komunikatif, yang berbeda dalam definisi komunikasi yang dibentuk dan diusahakan seseorang.
Barbara O’Keefe menunjukkan tiga logika dasar desain pesan, yaitu ekspresif, konvensional, dan retoris. Logika ekspresif memperlakukan komunikasi sebagai suatu model ekspresi diri, sifat pesannya terbuka dan reaktif secara alami, sedikit memperhatikan keinginan orang lain. Logika ekspresif misalnya bisa ditemukan pada saat kita sedang marah. Logika konvensional memandang komunikasi sebagai permainan yang dilakukan secara teratur. Komunikasi dilakukan sebagai proses ekspresi berdasarkan aturan dan norma yang diterima bersama, maka komuikasi berlangsung sopan dan tertib. Logika retoris memandang komunkasi sebagai suatu cara mengubah aturan melalui negosiasi. Pesan dirancang cenderung fleksibel, penuh wawasan dan berpusat pada orang. (Ardianto & Bambang Q-Anees, 2007 : 164)
3 Logika Desain Pesan Barbara J. O’keefe
Logika Desain
ekspresif Logika Desain Konvensional Logika Desain
Retoris
Premis Dasar
Bahasa merupakan media
untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaan
Komunikasi adalah permainan yang
dilakoni secara kooperatif
oleh aturan sosial
Komunikasi adalah
kreasi negosiasi situasi dan diri sosial
Fungsi utama
pesan
Ekspresi diri
Pengendalian respon keinginan
Negosiasi konsensus
Sosial
Hubungan antara pesan/konteks
Perhatian yang
kecil terhadap konteks
Tindakan dan
makna yng ditentukan
oleh konteks
Proses komunikasi
menciptakan konteks
Metode penanganan
masalah
Editing
Bentuk-bentuk kesopanan
Redefinisi konteks
Evaluasi komunikasi
Penjelasan ekspresif,
terbuka dan jujur, pensinyalan
yang tak terintangi
Aprosiasi (ketepatan), kontrol,
sumber daya, kooperatifitas
Fleksibilitas, sofistikasi
simbolik, kedalaman interpretasi
Sumber : Miller, (2005 : 110)
Dari bagan ini dapat dikemukakan bahwa :
1) logika desain ekspresif merefleksikan pandangan bahwa komunikasi adalah keterusterangan proses pengkodean pikiran dan perasaan. Logika pesan ekspresif bersifat literal dan langsung.
2) logika desain konvensional merefleksikan pandangan bahwa interaksi adalah permainan kooperatif yang dimainkan berdasarkan aturan, kesepakatan, dan prosedur-prosedur tertentu. Tujuan-tujuan yang bertentangan dalam situasi tertentu kadang dibagi dalam logika konvensional namun secara khusus melalui tambahan-tambahan dalam interaksi atau melewati bentuk-bentuk jebakan kesopanan seperti ”tolong, silahkan (please)”.
3) logika desain retoris merefleksikan pandangan bahwa komunikasi mengabdi pada struktur dan membentuk realitas. Dengan demikian, pelaku interaksi retoris menggunakan komunikasi untuk menetapkan situasi dalam cara yang akan memfasilitasi pertemuan beragam instrumen dan tujuan yang dihadapi. (Ardianto & Bambang Q-Anees, 2007:165)
3.5. Plain And Goals Theory
Yang terakhir dari pengembangan teori produksi pesan ini adalah mempertimbangkan perencanaan dan tujuan. teori ini memberikan kerangka pemahaman tentang struktur kognitif dan bagaimana mereka mempengaruhi struktur verbal dan perilaku nonverbal.
Menurut Berger (1995) dalam Miller (2005:116) konsepsi mengenai ”tujuan dan rencana” sering dilakukan untuk menjelaskan bagaimana memahami perilaku orang lain dan tindakan simbolisnya dalam teks naratif.
Dalam hal ini terdapat tiga aspek tentang konsep tujuan terkait area kerja teori ini, yaitu : pertama, individu akan mempunyai beraneka ragam tujuan dalam berbagai interaksi. Dalam hal ini Dillard dkk (1990) memberikan pertimbangan beberapa tujuan dengan membedakannya antara tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan Pimer ditetapkan pada situasi yang komunikatif untuk menyempurnakan interaksi. Contoh : seseorang yang mungkin mempunyai tujuan untuk mengubah sikap, menghibur, mendapatkan kepatuhan. Tujuan primer ini memberikan dorongan/ motivasi dalam berinteraksi. Sebaliknya tujuan sekunder sering menyediakan kekuatan pada tujuan primer dan biasanya bersangkutan dengan isu terkait. Yang kedua, tujuan meliputi tujuan yang belum jelas yang mempengaruhi interaksi. Dan yang terakhir , menurut Wilson (1990,1995) menyangkut cara dimana tujuan itu dibentuk dan diaktifkan dalam sistem kognitif.
Theori perencanaan Bergers
Teori ini memberikan penjelasan tentang bagaimana rencana dibuat dan dirumuskan. Teori perencanaan dalam bidang komunikasi dibuat oleh Charles Berger untuk menjelaskan proses individu melakukan perencanaan dalam prilaku komunikasi mereka ( Littlejohn, 2008:126)
Perencanaan adalah proses berfikir atas rencana aksi. Karena komunikasi sangat penting untuk mencapai tujuan. Teori yang berangkat dari psikologi sosial ini juga dapat menjelaskan tentang proses-proses yang berlangsung dalam diri manusia dalam proses komunikasi yakni ketika proses membuat pesan dan proses memahami pesan. Manusia dalam proses menghasilkan pesan melibatkan proses yang berlangsung secara internal dalam diri manusia seperti proses berfikir, pembuatan keputusan, sampai dengan proses menggunakan simbol. Demikian pula dalam proses memahami pesan yang diterima, manusia juga menggunakan proses psikologis seperti berfikir, memahami, menggunakan ingatan jangka pendek dan panjang hingga membuat suatu pemaknaan. Pendekatan psikologi sosial memberi perhatian terhadap aspek diri manusia. Proses komunikasi manusia merupakan proses yang berlangsung dalam diri manusia.
C. IMPLIKASI TEORI-TEORI PRODUKSI PESAN TERHADAP ILMU KOMUNIKASI
Implikasi teori produksi pesan -logika desain pesan (B.J. O’keefe)- dapat ditinjau pada teori manajemen makna terkoordinasi (berdasarkan penelitian W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen). Teori ini menyatakan bahwa individu membuat interpretasi berdasarkan aturan-aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosial pertama-tama didorong oleh keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan menerapkan aturan-aturan untuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap lanjutan individu bertindak atas dasar pemahaman mereka, dengan menggunakan aturan-aturan untuk memutuskan jenis tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan oleh individu dalam tindak komunikasinya, desain pesan dilakukan agar tindakan dan pernyataan dapat menciptakan komunikasi yang interaktif. (Ardianto dan Bambang Q. Anees, 2007:166)
E. KRITIK TERHADAP TEORI-TEORI PRODUKSI PESAN
Kritik kami pada teori-teori ini adalah dimana ruang lingkup dari teori-teori ini hanya berfokus pada sisi psikologis dan sifat individual serta pendekatannya yang hanya pada komunikasi interpersonal. Padahal, unsur pendefinisian komunikasi terjadi di antara manusia sehingga produksi pesan tidak bisa dijelaskan semata-mata dari perspektif pikiran individual serta harus melihat juga mengenai kognisi di luar individu. Selain itu, menurut kami, proses produksi suatu pesan tidak hanya melihat individu sebagai ”person” dalam komunikasi, tetapi juga individu sebagai ”team” dalam proses produksi pesan dalam komunikasi yang menggunakan media massa (komunikasi massa) dimana komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah lembaga/institusi yang terdiri dari beberapa individu yang menyatu dalam sebuah team.
F. PENUTUP
Komunikasi adalah proses yang berpusat pada pesan bersandar pada informasi. Teori yang dibahas dalam makalah ini berpusat pada individual. Kebanyakan dari teori ini menyatakan sifat sosial komunikasi, tetapi tidak menggunakan penjelasan sosial, melainkan hanya melihat produksi pesan sebagai persoalan psikologis, memfokuskan pada sifat-sifat, keadaan –keadaan, dan proses-proses individual.
Akhirnya, kami sebagai penulis menyadari sekali akan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Makalah ini kami sajikan untuk didiskusikan sehingga dapat memberikan masukan-masukan maupun kritikan yang berarti sehingga kami dapat menyempurnakannya dikemudian hari
2 komentar:
mau tanyaaa..
ini buku referensiny apa aja yaa??/
soalny saya lg ngrjain skripsi ttg konten analisis..
dan blog km ngebantu saya bgt..
It's remarkable in favor of me to have a web page, which is useful designed for my knowledge. thanks admin
Also see my web page :: insomnia cures for children
Posting Komentar